RUU MK Berhasil Diputuskan Di Baleg
Rapat Pleno Badan Legislasi (Baleg) DPR RI dengan Menteri Hukum dan HAM berhasil mengambil keputusan Tingkat I terhadap Perubahan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Rapat yang dipimpin Ketua Baleg Ignatius Mulyono, Selasa (14/6) selain dihadiri jajaran Kementerian Hukum dan HAM juga dihadiri Perwakilan dari Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara.
Sebelum Pengambilan Keputusan Tingkat I ini dilakukan, rapat sempat diskors selama lebih kurang 30 menit, karena masih belum ada kata sepakat terkait dengan masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi.
Pemerintah mengajukan masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi selama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan. Tujuh Fraksi yaitu F-PD, F-PDI Perjuangan, F-PAN, F-PPP, F-PKS, Fraksi Gerindra dan Fraksi Hanura menyetujui jabatan Ketua dan Wakil Ketua MK 2 tahun 6 bulan.
Namun, terhadap masa jabatan ini Fraksi Partai Golkar dan Fraksi PKB menolak usulan Pemerintah tersebut dan mengusulkan, masa jabatan 5 (lima) tahun.
Alasan Fraksi Partai Golkar mengusulkan lima tahun menurut Ferdiansyah, hal ini terkait dengan adaptasi yang dilakukan Ketua dan Wakil Ketua MK. Apabila seorang pimpinan hanya memiliki masa jabatan dua tahun enam bulan, bagaimana Ketua dan Wakil Ketua tersebut melakukan adaptasi dengan batas waktu yang singkat.
Selain itu, menyangkut beban kerja dan wewenang MK yang cukup berat dalam konteks analisa jabatan, waktu dua tahun enam bulan dirasa berat untuk Ketua dan Wakil Ketua MK terpilih. Walaupun, katanya, dimungkinkan setelah masa jabatan berakhir dapat dipilih kembali.
Setelah dilakukan lobi, akhirnya disepakati masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua MK 2 tahun 6 bulan. Terhadap pasal-pasal lain yang belum disepakati juga telah mencapai kata sepakat pendidikan hakim MK S1 Sarjana Hukum, dan S2, S3 tidak harus dari hukum.
Selain itu, MK masih menangani Pilkada , kecuali UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPRD dan DPD menghapus kewenangan MK menangani sengketa Pilkada.
Dalam kesempatan tersebut Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar mengatakan, pemerintah dan DPR sepakat membatasi kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam memutus perkara yang ditangani hakim MK. Dalam Rancangan Undang-Undang ini disepakati MK tidak dapat mengeluarkan putusan yang sifatnya ultra petita atau memutus sesuatu di luar permohonan pemohon.
"Kewenangan MK harus dibatasi. Tidak boleh ada satu pun lembaga yang kewenangannya tak dibatasi karena ini negara hukum. Apa yang diminta itu yang diputuskan. Jangan apa yang tidak diminta itu diputuskan," kata Patrialis.
Larangan MK untuk membuat putusan ultra petita tersebut tercantum pada Pasal 45A RUU MK. Pasal itu menegaskan MK tidak boleh memuat amar putusan yang tidak diminta pemohon atau melebihi permohonan pemohon, kecuali terhadap hal tertentu yang terkait dengan pokok permohonan.
Patrialis menjelaskan kesepakatan mengenai hal itu ditujukan untuk mengembalikan fungsi MK sebagaimana diatur dalam konstitusi. MK, kata Patrialis, hanya bisa memutus apakah sebuah UU bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 atau tidak. Bahkan, Patrialis mengatakan apabila MK melanggar ketentuan tersebut, maka dapat dikategorikan sebagai pelanggaran kode etik.
"Tapi kalau pokok perkara tidak bisa dijatuhkan. Kalau putusannya tetap dan tidak bisa diganggu. Itu berkaitan dengan kekuasaan lembaga kehakiman," katanya. Apabila keluar dari yang ditentukan tersebut, maka MK juga dapat dipertanyakan kenegarawanannya.
Sementara Ketua Baleg DPR Ignatius Mulyono menambahkan perubahan lain dari UU MK adalah komposisi Majelis Kehormatan MK. Nantinya, Majelis Etik bagi MK ini juga akan melibatkan satu unsur dari DPR. MK, juga diisi oleh unsur Komisi Yudisial (KY), pemerintah, hakim agung, dan hakim konstitusi, masing-masing seorang. "Hakim MK itu ada tiga yang dari DPR, karena itu perlu ada pengawas yang dari DPR, biar seimbang," katanya.
Sebelumnya, komposisi Majelis Kehormatan diisi dua orang hakim MK, seorang guru besar senior dalam ilmu hukum, seorang mantan Hakim Agung atau mantan Hakim Konstitusi, serta seorang mantan pemimpin lembaga tinggi negara. Menurut politikus Partai Demokrat ini masuknya unsur DPR dalam keanggotaan Majelis Kehormatan bertujuan untuk menyeimbangkan lembaga pengawas kode etik hakim MK tersebut.
Selain hal di atas, perubahan lain dalam RUU MK adalah perpanjangan usia pensiun Hakim MK. Apabila sebelumnya pensiun ditetapkan 67 tahun, maka ke depannya diperpanjang menjadi 70 tahun. (tt) foto:ry/parle